Seperti
halnya sejarah sosial lainnya, masih belum memperlihatkan kondisi
yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di
sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman
pada kanonisasi dan kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi yang
telah ditulis sebelumnya, di samping juga karena keterbatasan sumber
data dan kritikus yang ada.
Penulisan
sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap
mewakili periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan. Selain
disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini juga
memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai
dengan semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai
Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya.
Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat ini, bagaimana sejarah
perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks
sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang
erat antara sastra dan masyarakatnya.
Di
luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra
kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di
media massa, terutama yang terbit di berbagai koran daerah, luput
dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan penerbit
partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa
karya awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit
kecil tak masuk dalam daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya
penting untuk dibicarakan dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan
sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat sensor dan
pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan, maupun
karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua. (...)
Namun,
kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan
karya-karya yang tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan
oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat kita temukan. Wendy June
Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan cukup
komprehensif membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa Barat
dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992)
yang meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963)
yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang
roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga
muncul di sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori
oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga
melakukan penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di
Medan pada masa penjajahan.
Jika
kita baca sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, yang sebagian
besar dilakukan oleh para peneliti dari luar negeri, ternyata nama
dan karya di luar kanonisasi dan kategori yang dibentuk dalam kajian
sejarah sastra Indonesia cukup menarik untuk dibahas. Sejumlah hal
menarik muncul. Tentu saja dengan sudut pandang kajian yang menawan
pula. Paling tidak, kita bisa membaca kajian dengan obyek yang masuk
dalam kanonisasi yang termaktub dalam tesis Watson (1972) tentang
sosiologi karya-karya terbitan Balai Pustaka yang cukup luas. Atau
bagaimana pengaruh pengarang Minangkabau dalam karya-karya Balai
Pustaka yang dibahas oleh Freidus (1977). Perspektif yang digunakan
dalam kajian-kajian mereka cukup jernih, dalam artian bagaimana
mereka memperlakukan obyek kajiannya tanpa tendensi pengaruh
kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk.
Inilah
yang menjadi tantangan lain dalam penulisan dan kajian sejarah sastra
kita. Tanpa harus mempertahankan dan melanjutkan tradisi kanonisasi,
yang hanya akan berakibat pada pembenaran dan penguatan kesimpulan
yang ada sebelumnya. Penulisan sejarah sastra kita dapat disemarakkan
oleh berbagai revisi atas kesimpulan terdahulu. Dan hal ini tampaknya
memerlukan pengkaji baru, jika tidak ada perubahan sikap keterbukaan
para peneliti yang ada, yang berbicara atas penemuan mereka, bukan
pada upaya mempertahankan pernyataan-pernyataan yang telah mereka
buat.
Modal
usaha seperti ini sebenarnya sudah tersedia, dengan memanfaatkan
berbagai institusi yang ada, seperti fakultas sastra, balai bahasa,
dan perpustakaan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Apalagi sudah banyak kajian awal yang dilakukan oleh para peneliti
sastra Indonesia. Beberapa terbitan mengenai sastra di berbagai
daerah, sepengetahuan saya, hanya berupa kompilasi sastra, baik
kajian maupun karya sastra, yang belum mencerminkan kondisi
sesungguhnya dari dinamika sastra Indonesia.
Kontinuitas
sastra Indonesia
Sastra
Indonesia, dengan penambahan kata ”modern”, sering kali menjadi
awal perdebatan ketika berbicara tentang sejarah sastra Indonesia.
Pengaruh bentuk dan gaya sastra asing (baca: Barat) dijadikan patokan
untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Dalam nuansa dan konteks
seperti ini, kesinambungan sastra Indonesia yang modern dengan
tradisi sastra yang sudah ada, yang menjadi latar estetik para
pengarang, menjadi kabur. Pergaulan pengarang dengan budayanya,
dengan tradisi estetik yang diterima secara budaya, sekadar menjadi
warna atau setting dalam proses kreatif yang dijalaninya.
Pada
masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada,
dibatasi dan ditandai pada penghormatan akan nama pengarang yang
sebelumnya anonim, media publikasi, bentuk pendidikan dan pengetahuan
barat, dan pengaruh karya sastra barat. Sebagai akibat, sastra lama
kemudian dijadikan artifak, yang dikaji melalui filologi atau
arkeologi. Para peneliti sastra, khususnya sejarah sastra, menjadi
asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra di
Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti
sastra menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang
kerja mereka. Kita tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung
dengan karya-karya lama kita.
Sementara
waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan yang
serius ini mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang
modern dan kontemporer terus lahir, yang belum sepenuhnya mampu
dibicarakan. Di lain sisi, sastra lama kita juga semakin jauh dan
asing. Kegundahan yang menyelimuti kajian sastra Indonesia, terutama
para penelitinya, tampaknya tergambar dalam situasi seperti ini.
Kecenderungan
penulisan
Penulisan
sejarah sastra Indonesia telah banyak dilakukan peneliti sastra. Ajip
Rosidi (1983. cet.3), Jacob Sumardjo (2004, 1999), Yudiono KS (2007),
Korrie Layun Rampan (1983, 1986), Agus R Sarjono (2001), HB Jassin
(tentu saja dalam berbagai buku yang ditulis atau dieditorinya), dan
sebagainya. Namun, dengan menekankan pada periodisasi berdasarkan
konteks sosial, seperti yang sudah dikenal secara luas, masih
meninggalkan sejumlah fakta yang cukup penting.
Sastra
dianggap penting ketika ia berkorelasi dengan situasi di luar
dirinya, atau keterlibatan pengarang dalam aktivitas sosial. Aspek
sosiologi dari sastra mau tak mau dijadikan dasar pijakan dalam
penulisan sejarah sastra. Beban sosial ini dengan segera menjadi
dasar kriteria dalam menentukan kualitas karya, dan menempatkannya
dalam deretan penting karya sastra yang tercatat dalam sejarahnya.
Capaian bentuk estetika karya, karenanya, menjadi pertimbangan
berikutnya.
Pertimbangan
sosiologi ini memang menjadi salah satu indikasi yang menonjol,
karena peneliti sastra dapat merujuknya dengan menggunakan
sumber-sumber yang tersedia. Namun kemudahan ini tentu saja bukan
menjadi alasan utama ketika kita harus berbicara tentang sastra,
termasuk dalam penulisan sejarah sastra, dengan perangkat estetika
yang tidak melulu berbicara tentang aspek sosialnya.
Slots - Casino - Dr. Maryland
BalasHapusHotel & Slot 메이피로출장마사지 machines · Casino games · Table games · Toys games 부산광역 출장마사지 · 천안 출장샵 Video games 영천 출장샵 · Video poker · VIP games 광양 출장마사지